Monday, April 13, 2009

Nasib Warga Kristen Palestina Dibawah Penjajahan Zionis Israel

Di Palestina, yang menjadi korban penjajahan Zionis Israel bukan hanya warga Muslim tapi juga umat Kristiani. Karena tak tahan dengan penindasan dan tekanan penjajah, banyak anak-anak muda Kristen Palestina di Tepi Barat yang memilih hijrah ke luar negeri.

Pendeta Dr. Jamal Khadr dari Gereja Patriarki Latin di Yerusalem mengakui, jumlah anak-anak muda Kristen Palestina di Tepi Barat sangat minim karena selama beberapa dekade belakangan ini, anak-anak muda itu lebih memilih meninggalkan Palestina dan hijrah ke negara lain, terutama ke Afrika Utara dan Selatan, Australia atau ke negara-negara Skandinavia.

Berbeda dengan warga Muslim, menurut Pendeta Khadr, anak-anak muda Kristen tidak bisa dengan mudah beradaptasi dengan kesulitan hidup dan situasi yang penuh tekanan dari penjajahan Zionis Israel.

Profesor bidang pendidikan dan opini publik, Nabil Kukali mengamini pendapat itu. Ia mengatakan, penindasan dan kondisi yang buruk dibawah penjajahan Israel menjadi faktor penyebab utama anak-anak muda Kristen itu angkat kaki dari tanah Palestina. "Anak-anak muda ini ingin membangun masa depan untuk mereka sendiri dan itu sangat sulit dilakukan di sini," kata Kukali yang juga seorang Kristiani.

Tidak ada data resmi berapa jumlah warga Kristen yang hijrah ke negara lain sampai hari ini. Tapi data PBB menyebutkan sedikitnya sepersepuluh dari total populasi Kristiani di kota Bethlehem dan kota-kota terdekat lainnya seperti Beit Jalla dan Beit Sahour sudah beremigrasi dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini.

Anggota parlemen Profesor Bernard Sabella yang juga mantan pengajar bidang sosiologi di Universitas Berthlehem mengungkapkan, saat ini ada sekitar 50.000 warga Kristen yang tinggal di Tepi Barat, Al-Quds dan sebagian kecil di Jalur Gaza.

Pendeta Khadr mengatakan, dari sisi ekonomi, kehidupan warga Kristen Palestina sebenarnya jauh lebih baik bahkan cenderung bojuis, dibandingkan kehidupan warga Palestina lainnya pada umumnya. Karena kondisi perekonomian yang lebih baik itu, mereka bisa hijrah ke negara lain sebagai jalan keluar untuk lepas dari penindasan dan tekanan penjajahan Zionis Israel.

"Muslim dan Kristiani mengalami tekanan yang sama di Zionis Israel. Tapi kalangan Kristiani lebih baik dari sisi perekonomian. Selain itu, gereja dan koneksi memudahkan mereka untuk meninggalkan Palestina dibandingkan warga Muslim yang senasib dengan mereka," kata Profesor Mazen Qumsiyeh, mantan pengajar di Universitas Yale, AS.

Makin berkurangnya jumlah anak-anak muda Kristen menyebabkan para pemuka agama Kristen di Palestina berusaha keras mencegah agar anak-anak muda Kristen tidak mudah tergoda untuk hijrah ke negara lain. Mereka menilai, eksodus warga Kristiani telah menyebabkan ketidakseimbangan sosial di Palestina.

"Di Bethlehem, sekarang ini, jumlah lelaki dan perempuan Kristen usia menikah adalah tiga perempuan untuk setiap satu lelaki. Ini merupakan persoalan seirus," kata seorang pemuka agama Kristen dari gereja ortodoks Yunani.

Untuk mencegah eksodus lebih lanjut, organisasi-organisasi Kristen di Tepi Barat dengan dukungan organisasi-organisasi Kristen di luar Palestina menawarkan bantuan keuangan untuk perumahan, pendidikan dan membuka usaha.

Sementara Profesor Kukali berpendapat, otoritas pemerintahan Palestina dibawah pimpinan Mahmoud Abbas harus menciptakan lapangan pekerjaan yang luas di Tepi Barat. "Saya lahir di sini, ayah saya dikubur di sini, begitu juga dengan kakek saya. Saya akan tetap di sini, karena saya tidak punya tahan air lain. Saya orang Palestina dan tetap akan menjadi orang Palestina," tegas Kukali yang tidak mau ikut-ikutan hijrah. (ln/iol)

No comments:

Post a Comment